Sejarah Puisi

Ketika kekerasan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi seolah terdakwa untuk menggugatnya. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan darah, puisi juga turut merekamnya.

Puisi sebagai sebuah karya, mempunyai kaitan erat antara penyair dan latar belakang penciptaannya, seperti aliran, filsafat, dan latar belakang sosial budaya pada zaman penciptannya. Hal-hal tersebut mewarnai puisi-puisi yang diciptakan oleh si penyair itu sendiri. Puisi tidaklah lahir dari kekosongan budaya, melainkan dalam konteks sosial dan realitas di zamannya.

Sebut saja seperti puisi-puisi yang diciptakan pada zaman pergerakan pembebasan di Asia. Puisi seolah menjadi pupuk bagi tumbuhnya berbagai teologi pembebasan kala itu, seperti: teologi Minjung di Korea, teologi perjuangan umat kristiani di Filipina, dan teologi Dalit di India.

Dalam teologi Minjung, seorang penyair yang juga pegawai kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya merekam dan menggugat kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang bangkit saat itu. Ia malah rela menerima kekerasan terhadap dirinya dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.

Dalam puisinya ia menulis, //Saya aka suka rela menerima hukuman apa pun/ yang akan saya sandang/ akan lebih mudah bagi saya mati kelaparan/ di antara lubang batu karang/ dari pada melihat rakyat mati tanpa suara//.

Yulogk lewat puisi yang dikirim kepada rajanya itu, menggugat kebijakan sang raja yang memberlakukan tariff pajak terlalu tinggi, sementara rakyat terus hidup dalam kemiskinan.

Begitu juga dengan perjuangan umat Kristiani di Filipina pada awal 1980-an dalam revolusi EDSA yang menumbangkan pemerintahan dictator Ferdinan Marcos, juga melahirkan puisi-puisi miris tentang kegetiran hidup rakyat dalam revolusi tersebut. Puisi-puisi protes yang muncul seolah menjelma menjadi nyanian-nyanyian, mazmur-mazmur yang menggambarkan sejarah yang berlangsung saat itu.

Salah satu puisi yang kerap didendangkan rakyat Filipina sebagai mazmur itu adalah: //Aku tidak takut akan hantu/ tidak pula meratapi pembunuhan keji/ tanpa tempat istirahat yang layak// Tidak jadi soal kalau anak-anakku/ istriku, kawan-kawanku, dan keranatku/ tidak melihat aku menghembus nafas terakhir/ sebab mereka tahu bentuk kematian/ rencana jahat orang-orang berkuasa/ yang menunggu mereka yang berjuang/ agar keadilan ilahi merajai di negeri ini//.

Penyair Detrich melalui puisinya juga merekam sejarah perjuanan emansipasi wanita di negara tersebut. Lewat puisi, Detrich berusaha melepaskan kaum perempuan dari dominasi kaum pria yang dianggapnay menjadi “mesin” penggilas kebebasan perempuan Filipina. //Kamulah (kaum pria-red) yang telah menciptakan/ mesin-mesin bagi penyebar maut/ untuk setiap orang di bumi//.

Sejarah kesusastraan dalit kontremporer India juga mencatat Gibrielle Dietrich, Waman Numborka, E V Rames Periyal, Bhimrao Ambedkar, Arun Kamble. Mereka adalah para penyair yang dalam puisinya menggambarkan tentang pengorbanan, penderitaan, dan pertumpahan darah untuk menggapai kebebasan dari sebuah penindasan.

Hal itu sebagaimana ditulis kembali oleh See Eleanor Zelliot dalam buku Maleikal,  sebagai salah satu bahan untuk mengungkap wajah kekerasan di India. Zelliot tergerak untuk menganalisa kembali empati para penyair dalam merekam kekerasan lewat puisi-puisinya. Nimbhorka menulis, //Bila aku tak tahu apa apa/ aku tahu kastaku dihina// Patil menendang ayahku/ menyerapahi ibuku/ bahkan mereka tidak mengangkat kepala//.

Hal yang sama juga ditulis penyair EV Rames Periyal dan Bhimrao Ambedkar. Kedua penyair ini melalui karyanya meningalkan catatan sejarah bahwa puisi juga merupakan pemecik api gerakan melawan diskriminasi sosial.

Puisi-puisi gugatan sosial itu penuh dengan kemirisan. Kemirisan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial. Lagi-lagi puisi dinobatkan sebagai bagian dari rekaman sejarah. Dalam buku Political Consideration Upon Revined Politic and The Master Strokes of State, Gabriel Neude (1711) menggambarkan salah satu bait yang bernada miris tersebut:

//Kilat menyambar sebelum suara terdengar/ doa diucapkan sebelum lonceng dibunyikan/ rakyat menderita tanpa mengharap penderitaan/ dan mati sementara meyangka akan tetap hidup/ semua terjadi dalam gelap/ dalam topan dan kekecauan//.

Seemntara itu penentangan yang dilakukan oleh Mahadeviakka sangat unik dan bersikap profetis dan kontra cultural, yang mengangkangi norma-norma. Bahkan kaum perempuan India sendiri merasa malu dengan cara penentangan tersebut. Mahadeviakka mengembara telanjang bulat. Tubuhnya hanya ditutupi dengan rambutnya yang panjang. Dalam pengembaraannya itu, ratusan puisi lahir merekam realitas dalam usa menggapai perubahan dari apa yang ditentannya.***
Iskandar Norman

------------------------------------------------------------------
Puisi (dari bahasa Yunani kuno: ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.


Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.

Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag, dll). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi terkadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Ada beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru
-------------------------------------------------------------------



Puisi (dari bahasa Yunani kuno: ποιέω/ποιῶ (poiéo/poió) = I create) adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.

Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.

Baris-baris pada prosa dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag, dll). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi terkadang juga hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat puisi tersebut menjadi tidak dimengeti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala 'keanehan' yang diciptakannya. Tak ada yang membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi.

















Sejarah Puisi

Puisi sebagai bentuk seni dapat mendahului melek. Banyak karya kuno, dari Veda India (1700-1200 SM) dan Zoroaster's Gathas (1.200-900 SM) ke Odyssey (800-675 SM), tampaknya telah disusun dalam bentuk puisi untuk membantu menghafal dan lisan, dalam prasejarah dan masyarakat kuno. Puisi muncul di antara catatan-catatan paling awal kebudayaan paling melek huruf, dengan puitis fragmen-fragmen yang ditemukan pada awal monolit, runestones, dan stelae.

   

Tradisi Barat


Puisi yang tertua adalah Epos Gilgames, dari milenium ke-3 SM di Sumeria (di Mesopotamia, sekarang Irak), yang ditulis dalam naskah tulisan kuno berbentuk baji pada tablet tanah liat dan, kemudian, papirus. puisi epik kuno lainnya termasuk Yunani epos Illiad dan Odyssey, Old Iran buku-buku yang Gathic dan Yasna Avesta, epik nasional Romawi, Virgil Aeneid, dan India epos Ramayana dan Mahabharata.

Upaya para pemikir kuno untuk menentukan apa yang membuat puisi khas sebagai bentuk, dan apa yang membedakan puisi yang baik dari buruk, mengakibatkan dalam "puisi"-studi tentang estetika puisi. Beberapa masyarakat kuno, seperti Cina melalui Shi Jing, salah satu dari Lima Klasik Konfusianisme, dikembangkan kanon dari karya-karya puitis yang ritual serta pentingnya estetika. Baru-baru ini, para pemikir telah berjuang untuk menemukan definisi yang bisa mencakup perbedaan formal sama besarnya dengan yang antara Chaucer Canterbury Tales dan Matsuo Oku Bashō itu tidak Hosomichi, serta perbedaan dalam konteks agama Tanakh mencakup puisi, puisi cinta, dan rap.

Context dapat penting untuk puisi dan pengembangan genre dan bentuk puitis. Puisi yang mencatat peristiwa bersejarah dalam epos, seperti Gilgames atau Firdausi's Shahnameh,akan selalu menjadi panjang dan narasi, sementara puisi yang digunakan untuk keperluan liturgi (lagu pujian, mazmur, suras, dan hadis-hadis) cenderung memiliki inspirasi nada, sedangkan elegi dan tragedi yang dimaksudkan untuk menimbulkan tanggapan emosional yang dalam. Konteks lain termasuk nyanyian Gregorian, formal atau diplomatik pidato,retorika politik dan makian, cahaya-hati pembibitan dan omong kosong sajak, dan bahkan teks-teks kedokteran.

Sejarawan Polandia estetika, Władysław Tatarkiewicz, dalam sebuah makalah tentang "Konsep Puisi," jejak evolusi dari apa yang sebenarnya dua konsep puisi. Tatarkiewicz menunjukkan bahwa istilah tersebut diterapkan pada dua hal yang berbeda, sebagai penyair Paul Valéry mengamati, "pada titik tertentu menemukan persatuan. Puisi adalah seni berdasarkan bahasa. Tapi puisi juga memiliki arti yang lebih umum yang sulit untuk menentukan karena kurang determinate: puisi mengekspresikan suatu keadaan pikiran tertentu. "

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi
              http://diskusingeblog.blogspot.com/2...n-sejarah.html

------------------------------------------------------------------------

UNTUK LEBIH JELAS SILAKAN MASUK KE WEB INI:

http://69jobs.co.cc/tag/puisi-sejarah-santet
http://www.agusnaim.web.id/teg/sejarah-perkembangan-puisi-indonesia
http://www.oocities.org/marslino/sejarah.html
http://pancallok.com/search/sejarah-puisi-kerawang/
http://www.board-directory.com/en/tag/sejarah/puisi


                                                                      IKLAN KAMI
                     
  


Kolam lumpur (ThinkStock)